Archive for Juni 2013
Masalah Ekonomi Mikro Tentang Kemiskinan Di Indonesia
Kata Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya
Dalam
menyusun makalah ini, tentu masih terdapat kekurangan maupun kekeliruan, baik
bahasa maupun kalimatnya. Untuk itu penulis sangat mengharapkan
saran dan kritikan demi sempurnanya penyusunan makalah kami ini.
Selanjutnya
tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
pembuatan makalah ini, yang tidak mungkin kami sebutkan sebutkan satu persatu
sampai makalah ini dapat diselesaikan.
Semoga
makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Bekasi , 10 Mei 2013
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar
.............................................................................................................................
Daftar Isi
........................................................................................................................................
Bab I
Pembahasan
...................................................................................................................................
A. Latar
Belakang ..........................................................................................................................
B. Rumusan
Masalah
....................................................................................................................
C. Tujuan
Pembahasan ................................................................................................................
Bab II
Pembahasan……………………………………………………………………………………….
A. Konsep
Dan Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia………………………....
B. Kriteria
Kemiskinan Bank Dunia
..........................................................................................
C. PenyebabKegagalan
.................................................................................................................
D. Strategi
Penanggulangan Kemiskinan
....................................................................................
Bab III
Penutup………………………………………………………………………………………….....
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………………......
B. Saran……………………………………………………………………………………………
Daftar Pustaka
................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep pemahaman tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekadar
ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan konsumsi dan juga ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan yang cukup
dasar dalam kehidupan sehari-hari, kurangnya kesempatan berusaha dan juga
kurangnya lapangan pekerjaan, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan
aspek sosial dan moral. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait
dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat. Kemiskinan
juga dapat diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap
sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada
posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Tetapi pada umumnya, ketika
kemiskinan dibicarakan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan
pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu
memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini
yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Status miskin dalam kehidupan
juga relatif . ada standar tertentu yang dapat mengelompokan seseorang
masuk dalam kategori masyarakat miskin
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep dan Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia?
2. Bagaimana Kriteria Kemiskinan Bank Dunia?
3. Apa Penyebab Kegagalan Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia?
4. Bagaimana Strategi Penanggulangan Kimiskinan di Indonesia?
C. Tujuan Pembahasan
1. Memberikan gambaran keadaan kemiskinan di
Indonesia.
2. Dengan mengetahui tingkat kemiskinan dan
apa-apa saja yang menyebabkan kemiskinan kita akan bisa dengan mudah menentukan
arah kebijakan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep dan Indikator Kemiskinan Versi
Pemerintah Indonesia
Masalah kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut, yaitu persentase
penduduk miskin, pendidikan (khususnya angka buta huruf), kesehatan (antara
lain angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi), ketenagakerjaan,dan
ekonomi (konsumsi/kapita). Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai
kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak
mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya
kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,
pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan
atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak
dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama,
antara lain pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan
kemampuan dasar, dan pendekatan objektif dan subjektif.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu
ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan,
penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan
disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset dan alat produktif seperti tanah dan
lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung memengaruhi
pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara kaku
standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas
sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan
kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi
minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya
kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan
obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan
pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari
kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau
pandangan orang miskin sendiri (Stepanek, 1985).
Indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah terbatasnya kecukupan
dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan,
terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan
kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi,
terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan
penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya
jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang
disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang
mendorong terjadinya migrasi.
Keterbatasan kecukupan dan mutu pangan dilihat dari stok pangan yang terbatas,
rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak
balita, dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah
hanya mengonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang
dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan
terendah (BPS, 2004); Kasus mengenai gizi buruk tahun ini meningkat cukup
signifikan, pada tahun 2005 tercatat 1,8 juta jiwa anak balita penderita gizi
buruk, dan pada bulan Oktober 2006 sudah tercatat 2,3 juta jiwa anak yang
menderita gizi buruk.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh
kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan
dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan
kesehatan reproduksi, jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya
perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih
didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan
pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan yang dibantu oleh tenaga
kesehatan, pada penduduk miskin hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen
pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan
sosial hanya menjangkau 18,74 persen (BPS, 2001) penduduk, dan hanya sebagian
kecil di antaranya penduduk miskin.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan ditunjukkan oleh
kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya
pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas,
tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung.
Keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha juga ditunjukkan lemahnya
perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya
perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti
buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan akses layanan
perumahan dan sanitasi ditunjukkan dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat
miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan
kering dalam memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan
layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan
fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
Keterbatasan akses terhadap air bersih terutama disebabkan oleh
terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air. Dalam hal
lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, masyarakat miskin
menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta
ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah
tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan
mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Dilihat
dari lemahnya jaminan rasa aman, data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa
dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban
10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah
pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada
lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik.
Lemahnya partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan berbagai kasus
penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran
petani dari wilayah garapan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam
perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai
kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan
keterlibatan mereka. Dilihat dari besarnya beban kependudukan yang disebabkan
oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong
terjadinya migrasi, menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata
anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga
miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata
anggota rumahtangga miskin di pedesaan adalah 4,8 orang.
B. Kriteria Kemiskinan Bank Dunia
Publikasi Bank Dunia (2001) berisi pembahasan komprehensif tentang agenda
penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Salah satu tema yang dikemukakan
adalah perlunya memperluas definisi, fakta, dan tujuan dari program anti
kemiskinan. Selain “pujian” bahwa sampai dengan krisis 1997-98 Indonesia mampu
mencapai hasil “spektakuler” dalam mengurangi jumlah penduduk miskin, Bank
Dunia juga memberikan kritik bahwa pendekatan yang diterapkan Indonesia dalam
penanggulangan kemiskinan terlalu menitikberatkan pada target angka. Garis
kemiskinan misalnya, ditekankan pada pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup
dalam arti yang sangat sempit. Target angka dikombinasikan dengan pendekatan
pembangunan yang bersifat atas-bawah telah mengesampingkan banyak dimensi
kemiskinan yang meskipun sulit diukur, tetapi sangat penting. Dengan hanya
melihat mereka yang secara statistik masuk dalam kategori di bawah garis
kemiskinan, pendekatan ini menyempitkan ruang lingkup kemiskinan dan menjauhkan
dari realitas penduduk miskin yang lebih dinamis.
Mengabaikan angka dan menjauhkan diri dari target matematik tentu juga
tidak mungkin, karena bagaimanapun angka tetap diperlukan. Di lain pihak,
terlalu menitikberatkan pada pencapaian target statistik juga tidak bijaksana
karena terlalu menyederhanakan masalah. Bank Dunia kemudian merekomendasikan
penggunaan indikator pembangunan internasional yang disusun oleh wakil dari
komunitas internasional dan Indonesia termasuk salah satu anggotanya. Perluasan
target penanggulangan kemiskinan seperti disarankan oleh Bank Dunia tersebut
lebih terfokus pada kedalaman target yang telah ditetapkan selama ini. Pada
dimensi standar kehidupan materiil misalnya, proporsi penduduk miskin tahun
1999 adalah 27%, sehingga kemungkinan target pada tahun 2004 adalah sebesar
13,5%. Pada dimensi sumber daya manusia dapat juga dikembangkan target misalnya
angka tamat pendidikan dasar pada kelompok penduduk paling miskin, tingkat
kematian bayi maupun tingkat kesehatan. Demikian pula akses terhadap prasarana,
apakah akses kelompok paling miskin terhadap sumber daya air maupun sanitasi
dapat ditingkatkan lima tahun mendatang. Peningkatan partisipasi kalangan
penduduk miskin dalam keputusan politik setempat yang memengaruhi kehidupan
mereka, melalui program tertentu, merupakan hal yang tidak kalah pentingnya.
Selama kurun waktu 1975–1995 Indonesia telah berhasil dalam mengurangi
kemiskinan terutama diukur melalui penurunan jumlah penduduk miskin dari 64,3%
pada tahun 1975 menjadi hanya 11,4% pada tahun 1995. Pada tahun yang sama umur
harapan hidup mengalami peningkatan dari 47,9 tahun menjadi 63,7 tahun, angka
kematian bayi per seribu kelahiran bisa ditekan dari 118 menjadi 51, tingkat
partisipasi sekolah dasar meningkat dari 75,6 menjadi 95, dan tingkat
partisipasi sekolah menengah juga meningkat dari 13 menjadi 55%.
Ukuran yang digunakan untuk mengukur kemiskinan dengan paritas kekuatan
pembelian, yaitu penduduk yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar
AS per hari (Tamar Manuelyan Atinc). Bank Dunia melaporkan bahwa 49% dari
seluruh penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi
miskin. Dalam hitungan per kepala, 49% dari seluruh penduduk Indonesia berarti
108,78 juta jiwa dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia.
Di Indonesia pada tahun 1999, penduduk yang hidup di bawah 1 dollar per
hari sebanyak 7,7 persen. Namun, jika dihitung dengan
menggunakan 2 dollar AS per hari ada 55 persen. Perbedaan angka yang jauh ini,
yakni dari 55 persen ke 7,7 persen memiliki makna bahwa banyak sekali
masyarakat Indonesia yang hidup di atas 1 dollar AS per hari, tapi masih di
bawah 2 dollar AS. Pemerintah harus menjaga kestabilan makro ekonomi kalau
tidak mau jumlah penduduk miskin bertambah.
Secara umum, indikator untuk mengukur kaya, miskin, setengah miskin,
hingga sangat miskin, sebaiknya dilakukan oleh masyarakat. Orang miskin yang aktif bekerja
ini dalam terminologi World Bank disebut economically active poor atau
pengusaha mikro. Dan meninjau struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara
keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar 39,71 juta (99,97%)
merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan
mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha
(Tambunan, 2002).
1.Usaha
Mikro
Keberadaan
usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan
rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini,
memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal
yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development
through equity. Disamping mengakomodasi pemerataan seperti disebut di
atas, mengembangkan kelompok usaha ini secara riil strategis, setidaknya
dilihat beberapa alasan yaitu: 1) mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi
produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas
bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2) apabila kelompok ini
diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah berpindah menjadi sektor
usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka
sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin kategori fakir miskin, serta
usia lanjut dan muda. Tabel di bawah ini memperlihatkan peran strategis dari
usaha mikro (oleh World Bank disebut economically active poor)
dalam mengurangi kemiskinan.
Melihat
peran dari usaha mikro yang sangat strategis, timbul pertanyaan mengapa usaha
ini kebanyakan sulit berkembang. Untuk menelusuri hal tersebut, tabel di bawah
ini akan menunjukkan berbagai persoalan yang menjerat para pengusaha mikro.
Bagi pengusaha mikro, persoalan permodalan (aksesibilitas terhadap modal)
ternyata merupakan masalah yang utama.
JENIS
KESULITAN USAHA MIKRO
Jenis
Kesulitan
|
IKR
|
IK
|
1.
Kesulitan modal
|
34.55%
|
44.05%
|
2. Pengadaan bahan baku
|
20.14%
|
12.22%
|
3. Pemasaran
|
31.70%
|
34.00%
|
4. Kesulitan lainnya
|
13.6%
|
9.73%
|
Sumber:
Data BPS terolah (1999)
IKR:
Industri Kecil Rumah Tangga
IK:
Industri Kecil
Masyarakat
lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh (undeserved) dan tidak
dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga
menyebabkan laju perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi
saja. Kelompok masyarakat ini dinilai tidak layak bank (not bankable)
karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan kemampuan mengembalikan
pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan mahalnya biaya
transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro
terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan
modal apa adanya yang mereka miliki. Tabel data di
bawah ini akan memperlihatkan realitas tersebut.
Darimana Modal Diperoleh
Uraian
|
IKR
|
IK
|
_ Modal Sendiri
_ Modal
Pinjaman
_ Modal
Sendiri dan Pinjaman
|
90.36%
3.20%
6.44%
|
69.82%
4.76%
25.42%
|
Jumlah
|
100%
|
100%
|
Asal Pinjaman
_ Bank
_ Koperasi
_ Institusi
Lain
Lain-lain
|
18.79%
7.09%
8.25%
70.35%
|
59.78%
4.85%
7.63%
32.16%
|
Sumber:
Data BPS terolah (1998)
Salah satu
cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan masyarakat
miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro. Di Indonesia sendiri hal
itu bukan barang baru. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan sejak 100 tahun
lalu pun sudah mengarah seperti itu. Dalam lingkup dunia, pendekatan kredit
mikro mendapatkan momentum baru, yaitu dengan adanya Microcredit Summit(MS)
yang diselenggarakan di Washington tanggal 2-4 Februari 1997.
MS
merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan
penguatan dana kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari banyak negara.
MS juga memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya menampilkan
keragaan keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan masyarakat
(perekonomian rakyat), tetapi juga mematrikan suatu janji bersama untuk
menanggulangi kemiskinan global sebanyak 100 juta keluarga (atau sekitar 600
juta jiwa).
Keuangan
mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises)
untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih
lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah
mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga
Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan
mereka.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah,
1996-2005
Tahun
|
Jumlah
Penduduk Miskin (juta)
|
Persentase
Penduduk Miskin
|
||||
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
|
1996
|
9,42
|
24,59
|
34,01
|
13,39
|
19,78
|
17,47
|
1998
|
17,6
|
31,9
|
49,5
|
21,92
|
25,72
|
24,23
|
1999
|
15,64
|
32,33
|
47,97
|
19,41
|
26,03
|
23,43
|
2000
|
12,3
|
26,4
|
38,7
|
14,6
|
22,38
|
19,14
|
2001
|
8,6
|
29,3
|
37,9
|
9,76
|
24,84
|
18,41
|
2002
|
13,3
|
25,1
|
38,4
|
14,46
|
21,1
|
18,2
|
2003
|
12,2
|
25,1
|
37,3
|
13,57
|
20,23
|
17,42
|
2004
|
11,4
|
24,8
|
36,1
|
12,13
|
20,11
|
16,66
|
2005
|
12,4
|
22,7
|
35,1
|
11,37
|
19,51
|
15,97
|
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
Berita Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 September 2006. 3
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah dan persentase
penduduk miskin pada periode 1996-2005 berfluktuasi dari tahun ke tahun
meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode 2000-2005 (Tabel
1). Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di
Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan
dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97
persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Persentase
penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak
berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk
miskin berada di daerah perdesaan.
C. Penyebab Kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan
program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program
penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran
bantuan sosial untuk orang miskin. Hal tersebut antara lain berupa beras untuk
rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk masyarakat miskin.
Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena
sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan
ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan
pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin.
Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk
menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan
penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial
ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah lebih baik
apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan
kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah,
seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta
dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat
(puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan
kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab
kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak
didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Faktor ketiga adalah pemaham pemerintah bahwa pemerintah memberikan
kebutuhan yang menunjang kehidupan sehari –hari bukan memberikan jalan
bagaimana untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari mereka. Pemerintah sebenarnya
telah memberikan jalan seperti menggelar event seperti Job Fair yang dapat
memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat . namun , persyaratan yang
tinggi juga menjadi ganjaran bagi masyarakat . karena , biasanya
masyarakat yang tergolong masyarakat miskin tidak memiliki jenjang pendidikan
yang tinggi .
D. Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari
satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap
dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan
secara lokal.
Untuk
mencapai sasaran penurunan angka kemiskinan KPK menetapkan strategi
pemberdayaan masyarakat melalui 2 (dua) cara yaitu pertama,
mengurangi beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin dan kedua,
meningkatkan produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya.
Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha
masyarakat terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang meliputi penajaman
program, pendanaan, dan pendampingan. Pendampingan yang dimaksud di sini adalah
program penyiapan, pemihakan dan perlindungan untuk meningkatkan kapasitas
sumberdaya masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program agar
pendanaan yang disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik. Dan
memperbanyak jumlah koperasi simpan pinjam di daerah yang berperan sebagai
saran yang dapat digunakan masyarakt yang dapat membantu permodalah usaha
–usaha masyarakat . selain itu , koperasi juga dapat berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan sehari – hari masyarakat dengan harga yang murah dan juga dapat
menjadi tempat investasi bagi masyarakat yang mau menanamkan modal di koperasi
tersebut.
BAB III
PENUTUP
- A.
Kesimpulan
Masalah kemiskinan di Indonesia sudah sangat berat ini karena kurangnya
kerjasama antara pemerintah , masyarakat dan juga pihak terkait yang seharusnya
bisa menyelesaikan masalah kemiskinan di indonesia. Namun , bukan berati
masalah kemiskinan di Indonesia tidak bisa di selesaikan . butuh kesadaran dan
kemauan dari masayarakat untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka . bagi
pemerintah butuh keseriusan dan ketulusan hati mereka untuk membantu rakyat
miskin yang sebenarnya juga menjadi tanggung jawab mereka . karena , pemerintah
cenderung tidak serius dalam membuat dan menjaga program yang mereka buat untuk
mensejahterakan masyarakat dan ketulusan hati mereka untuk membantu mereka yang
membutuhkan bantuan. Dan bagi pihak terkait untuk menyelesaikan masalah
tersebut . tidak seharusnya mereka memanfaatkan keadaan dan amanah yang telah
diberikan pemerintah untuk memperkaya diri sendiri . karena mereka juga ada
karena harus membantu bukan memperkaya diri dari sesuatu yang bukan seharusnya
bukan menjadi miliknya.
Salah satu
tujuan utama dari proses pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia
adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik materiil maupun spirituil
secara adil dan merata. Tujuan ini akan tercapai bila
bangsa Indonesia mampu menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya
penanggulangan kemiskinan adalah dengan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan
menengah karena usaha ini telah mampu membuktikan diri sebagai landasan
perekonomian Indonesia melalui ketahanan diri yang dibuktikan selama krisis
ekonomi melanda Indonesia. Selain itu UMKM merupakan sektor yang diperani oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia. Usaha pemberdayaan dan pengembangan UMKM
dalam rangka penanggulangan kemiskinan ini tidak dapat dilakukan secara
individual namun harus melibatkan berbagai stakeholder yang
ada seperti pemerintah, dunia usaha, dan swasta yang merupakan sektor yang
menjadi landasan perekonomian Indonesia, LSM, akademisi, lembaga-lembaga donor,
dan lain-lain.
Pengembangan UMKM dalam konteks penanggulangan kemiskinan tidak bisa
lepas dari peran LKM karena LKM merupakan pihak yang selama ini mampu
memberikan dukungan kepada UMKM khususnya dalam hal sumberdaya finansial di
saat pihak perbankan komersial tidak mampu menjangkaunya karena karakteristik
yang melekat pada UMKM sendiri. Berangkat dari fenomena ini maka tidak dapat
dipungkiri bahwa pemberdayaan LKM merupakan salah satu prasyarat mutlak yang
harus dipenuhi dalam rangka pengembangan UMKM yang diarahkan untuk
menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan LKM harus mencakup dua aspek, yaitu
aspek regulasi dan penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri
sendiri namun harus saling terkait dan mendukung sehingga mampu membentuk
sinergi dalam mengembangkan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan.
B. Saran
Secara
pribadi penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan demi kelancaran dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga dengan
dibuatnya makalah ini dapat menambah informasi dan juga memberikan manfaat bagi
pembacanya . dan dengan dibuatnya makalah ini dapat membuat pembacanya melihat
di sekitar mereka dan membantu saudara atau masayarakat di sekitar mereka jika
ada yang memiliki masalah ekonomi dan membutuhkan bantuan
Daftar Pustaka